Thursday, January 4, 2007












Soal No Urut
Beda Parpol, Beda Sikap

Jakarta|Jurnal Nasional

WACANA penghapusan mekanisme penetapan calon anggota legislatif berdasarkan nomor urut dalam pemilihan umum yang dilontarkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ditanggapi beragam oleh sejumlah elite partai politik.

Padahal, mekanisme tersebut lebih demokratis, karena wakil rakyat yang menetap di parlemen dipilih langsung oleh rakyat, tidak berdasarkan keputusan subyektif pimpinan partai politik.

Ketua Fraksi Partai Golkar Andi Matalatta menilai penghapusan nomor urut dalam mekanisme rekrutmen anggota DPR bisa saja dilakukan, asal hanya satu kursi untuk satu daerah pemilihan. Dengan demikian, Andi menilai, suara rakyat dalam memilih calonnya sangat jelas.

Sementara kalau satu daerah pemilihan ada sepuluh kursi, dan masing-masing partai bisa mengajukan 15 calon, kemudian yang ikut ada 20 partai, berarti ada 300 calon. Jika hasilnya suara ke 300 calon itu terbagi merata, maka suara tertinggi bisa hanya dua persen.

”Inikah yang akan dipilih menjadi DPR, apa mau, dua persen dipilih jadi anggota DPR, jadi sangat sulit,” katanya kemarin.

Berbeda jika satu daerah pemilihan satu calon untuk satu kursi, dan setiap partai hanya mendapatkan satu kursi, maka kemungkinan partai hanya mengajukan dua calon. Kalau 20 partai, berarti hanya 40 calon. ”Bisa saja itu dilakukan, namun mungkin suara yang tertinggi hanya mencapai 3-4 persen.”

Politisi senior Golkar itu menampik jika partainya paling getol menolak penghapusan nomor urut dalam pemilihan anggota DPR karena dapat menghimpit otoritas pimpinan partai dalam menggolkan kepentingannya.

Menurut dia, pada Pemilu 2004, Golkar yang paling getol mengusulkan dalam Pemilu Presiden dan Pemilu Legislatif kepada KPU agar partai politik—dalam memunculkan calon, harus melewati mekanisme yang demokratis dan terbuka.

”Berarti, orang luar boleh masuk, lebih demokratis tidak hanya hanya ditetapkan berdasarkan keputusan pimpinan partai politik.”

Namun, usulan yang sekiranya bisa disahkan dalam UU Pemilu, mentah begitu saja karena sejumlah elit partai lain dan DPR tidak sepakat dengan penghapusan nomor urut.

Bagaimana tidak menentang, kata Andi, karena mekanisme tersebut dapat merusak eksistensi pimpinan partai, sehingga DPR tidak mendukung.

Golkar sendiri, katanya, telah membuktikan melaksanakan mekanisme yang demokratis dan terbuka dengan menggelar konvensi calon Presiden, dan banyak merekrut sejumlah tokoh non partai untuk dicalonkan menjadi anggota legislatif.

Dia menghimbau agar semua partai pada Pemilu 2009 konsekwen melaksanakan mekanisme yan demokratis, dan terbuka, dengan membuka kesempatan kepada kalangan non partai yang bagi rakyat pantas dicalonkan.

”Golkar mendukung kalau satu daerah pemilihan satu pemilih, kalau tidak nanti calon yang mendapatkan 2 persen dapat terpilih,” katanya.

Sementara itu, Ketua DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Maruarar Sirait mengatakan partainya hingga kini belum mengambilkan kebijakan dalam memutuskan sepakat atau tidak merealisasikan wacana penghapusan mekanisme penetapan anggota legislatif berdasarkan nomor urut.

PDIP akan mengkaji secara menyeluruh untuk mengukur kadar demokratisasi, dan kesiapan PDIP. ”Belum ada sebuah keputusan mengenai hal itu. Namun, pada waktunya, mungkin awal tahun depan kita akan memutuskan soal itu,” ujarnya kemarin.

Maruarar enggan memberikan komentar untung ruginya jika mekanisme itu diterapkan dalam pemilihan legislatif, karena bersifat strategis sehingga perlu dibahas secara mendalam di internal partai. Namun, katanya, PDIP dipastikan akan mengambil sikap soal wacana tersebut.

Ketua Fraksi PDIP Tjahjo Kumolo mengatakan anggota DPR tidak harus orang-orang yang selalu dikenal tetapi juga mampu mendengar, menyerap dan memperjuangkan aspirasi masyarakat yang diwakilinya. Namun, kondisi ini, bisa dikordinasi dan direncanakan melalui partai sehingga mau tidak mau keberadaan anggota DPR amat tergantung partai yang mencalonkannya.

Ketua DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Untung Wahono sepakat dengan penghapusan nomor urut karena calon yang berhasil menjadi anggota DPR mendapatkan dukungan terbesar dari konstituen sehingga lebih legitimate, daripada dengan menggunakan nomor urut yang berdasarkan keputusan pimpinan partai. ”Kenyataannya, tidak selamanya nomor satu itu, mendapat suara terbanyak dari rakyat,” katanya kemarin.

Mekanisme tanpa nomor urut juga mendorong terjadinya kompetisi menuju parlemen yang sehat dengan cara merebut suara sebanyak-banyaknya dari konstituen. Sementara jika berdasarkan nomor urut, persaingan calon hanya kepada partai.

Namun, Untung mengatakan di internal PKS belum dipastikan mendukung atau tidak penghapusan nomor urut tersebut. ”Kita tidak tahu perkembangannya nanti.”

Pada Pemilu 2004, kata Untung, mengacu pada UU Politik untuk Pemilu 2004, penentapan nomor urut di PKS lewat voting. Kala itu, Partai Keadilan dengan Partai Amanat Nasional di Fraksi Reformasi, memunculkan ide agar tidak berdasarkan nomor urut, kala itu. Namun, keputusan kolektif DPR tetap mendukung mekanisme rekrutmen anggota DPR berdasarkan nomor urut.

Untung menambahkan, meski penghapusan nomor urut lebih demokratis, partai politik juga harus melakukan seleksi dahulu calon yang akan direkrut—dengan mencermati harapan masyarakat atas calon tersebut.

Partai politik harus mencermati keinginan masyarakat—yang lebih konsern pada partai, apa calon. Bisa saja, calon A yang diharapkan mendapatkan suara terbanyak, tapi yang merekrut adalah partai B yang tidak sesuai dengan . pilihan masyarakat.

”Masyarakat akan kecewa, karena si A yang dikenal sebagai tokoh yang baik, karakternya bagus, tapi direkrut oleh partai yang karakteristiknya berbeda bagi masyarakat. Mungkin, masyarakat tidak jadi memilih,” ujar Untung.

Sementara itu, Ketua Umum DPP PKB Muhaimin Iskandar mengkhawatirkan partai akan kehilangan kader terbaik jika calon anggota legislatif ditetapkan tidak berdasarkan nomor urut. Menurut dia, jika kader berdasarkan pilihan rakyat namun tidak mengetahui kerja di DPR, tidak ada konsep yang jelas, maka akan tidak efektif. Selain itu, partai juga akan kehilangan kontrol terhadap kadernya.

M. Yamin Panca Setia

No comments: