Thursday, January 4, 2007















Sektor Riil 2007

Antara Cerah dan Resah

TAHUN 2007, pertumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakan lebih cerah dibandingkan tahun 2006. Pertumbuhan ekonomi diperkirakan meningkat 6 persen, atau lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi tahun 2006 yang menembus 5,5 persen.

Dalam prediksi Bank Indonesia (BI), pada semester I dan II di 2007 terjadi peningkatan seiring peningkatan signifikan pada investasi swasta dan peningkatan yang semakin besar pada belanja modal pemerintah.

Neraca pembayaran 2007, diperkirakan masih mencatat surplus, meski tidak sebesar surplus pada tahun 2006. Sementara pertumbuhan ekspor nonmigas diperkirakan mencapai 6-8 persen, dan impor nonmigas meningkat 12-14 persen.

Neraca transaksi berjalan 2007, diperkirakan surplus US$6 -US$8 miliar. Cadangan devisa pada 2007 diperkirakan mencapai sekitar US$47 miliar. Perkiraan surplus neraca pembayaran 2007 tersebut pada gilirannya akan mendukung nilai tukar rupiah 2007 yang secara umum diperkirakan bergerak stabil.

Direktorat Perencanaan Strategis dan Hubungan Masyarakat BI Budi Mulya menjelaskan, pertumbuhan ekonomi 2007 dapat mencapai 6,3% jika ada peningkatan peran perbankan dalam mendukung sisi pembiayaan.

Peneliti Center for Information and Development Studies (Cides) Umar Juror juga memperkirakan perekonomian 2007 akan lebih baik dengan pertumbuhan sekitar 6 persen dan stabilitas makro yang terjaga. Sektor-sektor tertentu, seperti telekomunikasi, konstruksi, keuangan, perdagangan, dan listrik-gas-air akan tumbuh cukup tinggi.

Namun, katanya, sektor manufaktur masih menghadapi permasalahan penyesuaian terhadap kenaikan biaya produksi dan lemahnya permintaan. Pembangunan infrastruktur, terutama pembangkit listrik dan jalan toll, paling tidak secara selektif akan mulai direalisasikan pada tahun 2007.

”Sekalipun prospek perekonomian membaik pada tahun 2007, namun tingkat pengangguran dan kemiskinan masih mengkhawatirkan,” ujarnya dalam sebuah diskusi mengenai Perekonomian 2006 dan Prospek 2007 di Jakarta beberapa waktu lalu.

Umar mencatat, di akhir tahun 2006 nilai rupiah terhadap US dollar relatif stabil di sekitar angka Rp 9.100 per dollar. Pada tahun 2007, nilai rupiah juga diperkirakan stabil pada kisaran Rp 9200-9300 per dollar.

Dia memprediksi, pada 2007, sektor pertanian meningkat 3 persen, pertambangan 2,5 persen, manufaktur 5 persen, listrik, gas dan air naik 7 persen. Pertumbuhan juga terjadi di sektor konstruksi 8,5 persen, perdagangan 8 persen, dan sektor transportasi dan komunikasi 13 persen.

Memang, seiring terbitnyaa kebijakan BI yang menurunkan suku bunga sebesar 50 bps dari 10,25 persen menjadi 9,75 persen, diharapkan dapat menjadi stimulus bagi pengembangan usaha sektor riil. Suku bunga bank yang rendah diharapkan memudahkan akses kalangan pengusaha mendapatkan modal dalam mengembangkan usahanya.

Di sektor Koperasi dan UKM, minimnya modal menjadi kendala utama. Guritno Kusumo, Sekretaris Menteri Negara KUKM mengharap respon perbankan dalam mengucurkan kredit meningkat, seiring turunnya BI rate menjadi 9,75 persen.

Tidak semua pengusaha UKM dapat menerima kredit karena kendala tidak ada agunan dan manajemen pembukuan yang tidak memenuhi kriteria yang menjadi standar perbankan. Guritno menambahkan, pemerintah akan membantu lewat dana penguatan guna menjawab keresahan UKM agar dapat mengakses permodalan.

Menurut dia, tahun 2006, perbankan mengucurkan dana sebesar Rp60 triliun kepada koperasi dan UKUM. Untuk tahun 2007, Guritno belum mengetahui bisniss plan untuk pengembangan UKM dan Koperasi.

Berdasarkan perhitungannya, untuk membiayai 44 juta UKM di seluruh Indonesia, setidaknya dibutuhkan dana Rp 220 triliun. Dia menyebutkan, ada empat persoalan klasik yang harus diusahakan Departemen Koperasi dan UKM, yaitu modal, pasar, sumberdaya manusia dan teknologi. Proses untuk mendapatkan kucuran kredit dari perbankan hingga kini tidak mudah.

Namun, Guritno mengaku optimis pada tahun 2007, akan jauh berkembang dibanding tahun 2006. Pasalnya, anggaran departemen Koperasi dan UKM meningkat 1,5 persen dibandingkan tahun lalu, yaitu mencapai Rp1,488 triliun.

”Dengan naiknya anggaran itu, kita boleh berharap lebih banyak dari yang telah kita kerjakan pada tahun 2006. Jadi, kalau prospek 2007 sangat optimis, kita benar-benar ingin menwujudkan UKM dan koperasi benar-benar berjalan,” katanya kepada Jurnal Nasional akhir pekan lalu.

Menurut dia, pada tahun 2007, pemerintah akan mengalokasikan dana Rp100 juta untuk setiap koperasi simpan pinjam yang ada di seluruh kecamatan di Indonesia.

Sementara itu, Deputi Bidang Pembiayaan Kementerian Koperasi dan UKM Agus Muharam mengatakan, pemerintah menjamin kredit macet atau bad debt sektor UKM bila perbankan mau mengucurkan kredit ke sektor ekonomi kerakyatan tersebut. Dia menegaskan dana tersebut sudah siap, jadi perbankan tidak perlu khawatir.
berdasarkan data Bank Indonesia, per September 2006 tingkat NPL untuk UMKM hanya sebesar 4,99% atau lebih rendah dibanding NPL kredit non UMKM yang sebesar 11,42%. ”Itu menunjukkan bahwa sebenarnya sektor UKM merupakan sektor yang sangat patuh membayar cicilan pinjamannya.”

Berdasarkan data dari Bank Indonesia per September 2006, pencairan kredit sektor perbankan ke usaha kecil menengah mikro (UMKM) baru sekitar Rp37,6 triliun, atau 55,3% dari business plan 2006 sebesar Rp68 triliun.

Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia MS Hidayat menilai
pemerintah berhasil menangani stabilitas makro ekonomi, tapi belum berbuat banyak dan belum berhasil melakukan kebijakan mikro ekonomi, khususnya menggerakkan sektor riil.

Pertumbuhan ekonomi tahun 2006 lebih digerakan oleh sektor konsumsi, sementara investasi minim sehingga sektor manufaktur lesu ditambah lagi masuknya serangan produk impor yang tidak sehat seperti penyelundupan.

Memang harus diakui, tak sedikit pengusaha Indonesia yang ”menjerit” karena industrinya gulung tikar lantaran serangan produk impor sejenis yang bersifat legal dan ilegal dari negara lain. Serangan produk China misalnya.

Irwandy Muslim, Sekjen Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), mengatakan pelbagai produk China telah berhasil mendominasi pasar domestik. Untuk tekstil dan produk tekstil (TPT), ada sekitar 30 persen hingga 40 persen TPT asal China yang menyebar di pasar domestik. ”Itu baru dari China, belum dari negara lain,” ujarnya.

Dominasi produk China dengan harga murah juga telah menyebabkan tak sedikit pula industri TPT yang kolaps. Dari 1.850 pengusaha industri TPT yang tergabung dalam API, kini menyusut menjadi 600 anggota.

Ekspansi produk asal China juga karena praktik impor ilegal. Irwandy memperkirakan TPT ilegal yang menyebar di pasar Indonesia mencapai 50 persen dari total keseluruh TPT yang beredar. API mencatat total pertumbuhan impor TPT China yang resmi, plus ilegal, pada tahun 2004 mencapai 380 persen.

Sementara itu, Ketua Asosiasi Pemasok Garmen dan Aksesoris Indonesia (APGAI) Suryadi Sasmita mengatakan tidak sedikit industri dalam negeri gulung tikar karena kalah bersaing dengan produk garmen China.

Tren perdagangan garmen di pasar dalam negeri naik 30 persen di tahun 2006, dan didominasi garmen China. Ironisnya, 59 persen garmen yang beredar di pasar bersifat ilegal, dan lebih banyak disuplai dari China. Impor garmen ilegal sangat sulit dikontrol karena melibatkan oknum petugas bea cukai dan kepelabuhan.

Industri keramik Indonesia juga terancam oleh serbuan keramik asal China. Zulfikar Lukman, Sekretaris Jenderal Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (Asaki) mengatakan kramik ilegal dari China telah menyerbu pasar domestik. Data Asaki menyebutkan, ada perbedaan harga produk keramik China dan Indonesia. Produk sanitasi China di tingkat konsumen Rp500 ribu per unit, sedangkan harga sanitasi Indonesia di tingkat produsen saja Rp800 ribu per unit.

Untuk masuk ke Indonesia, China menggunakan dokumentasi dari Malaysia atau Singapura, untuk mengirim keramik ke Indonesia, agar Charge yang dikenakan hanya 5 persen. ”Padahal, China yang bukan anggota Asean harus dikenakan charge 23 persen saat akan mengekspor produknya,” ujarnya kepada Jurnal Nasional beberapa waktu lalu.

Memang tak mudah begitu saja menggenjot pertumbuhan di sektor riil. Dalam pandangan Wakil Ketua Komisi VI DPR bidang Perdagangan dan Industri Lili Asdjudiredja, untuk meningkatkan sektor riil, pemerintah harus mampu menjaga stabilitas perdagangan produk dalam negeri, menekan biaya tinggi, pengurangan pajak, meningkatkan daya saing, dan menciptakan iklim usaha yang baik.

Menurut dia, tak sedikit, kalangan pengusaha dihadapi persoalan modal, dan biaya ekonomi tinggi dalam mengembangkan usahanya. Lili menilai iklim ekonomi Indonesia masih dihadapi persoalan ekonomi biaya tinggi, dan lemahnya daya saing produk industri.

Daya saing produk Indonesia di pasar internasional hanya menepati peringkat 175. ”Jadi, pemerintah harus serius memberantas faktor penyebab biaya ekonomi tinggi di sektor rill,” ujarnya kepada Jurnal Nasional belum lama ini.

M. Yamin Panca Setia

No comments: