Thursday, January 4, 2007

















Perusahaan Besar, Tanggungjawab juga Besar


Jakarta|Jurnal Nasional

IRONIS jika di suatu kawasan yang kaya sumber daya alam, beroperasi perusahaan internasional yang meraup keuntungan besar, tetapi masyarakat di lingkungan sekitarnya didera kemiskinan.

Realitas itu banyak ditemukan di kawasan kaya sumber daya alam di Indonesia, seperti Papua dan Kalimantan. Masyarakat pribumi tersingkir dari tanah leluluhurnya sendiri yang kaya akan sumberdaya mineral.
Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) mencatat, industri pertambangan mineral di negeri ini, gagal menjadi penopang perekonomian Indonesia, apalagi mensejahterakan penduduk lokal. Kontribusi sektor pertambangan hanya Rp1,3-Rp2,3 trilyun terhadap APBN dalam 4 tahun terakhir, lebih kecil dari sektor kehutanan.

Koordinator Jatam Siti Maemunah mengatakan, hampir semua perusahaan yang melakukan eksplorasi minyak dan gas bermasalah dalam merealisasikan tanggungjawab sosial dan lingkungan bagi masyarakat sekitar.

Jatam mencontohkan keberadaan PT Freeport Indonesia sebagai korporasi tambang emas dan perak skala besar pertama di Indonesia yang telah beroperasi selama 32 tahun di Papua.

Perusahaan asal Amerika Serikat itu terbukti gagal dalam menyejahterakan rakyat.
Padahal, setidaknya 1.448 ton emas, tembaga dan perak telah dikeruk dari Papua oleh Freeport. Tetapi kondisi Papua jauh dari kemilau emas.

Jatam mencatat, akumulasi penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan di atas 35 persen berada di kawasan konsesi PT Freeport Indonesia.

Perusahaan itu juga dinyatakan gagal menunjukkan tanggung jawabnya terhadap pengelolaan lingkungan dan resolusi konflik dengan penduduk lokal. Sekitar 1,3 milyar ton limbah tailing dan 3,6 milyar ton limbah batuan dibuang begitu saja ke lingkungan.

Realitas suram juga mudah ditemukan di lokasi-lokasi pertambangan skala besar lainnya. Mulai dari tambang emas PT Barisan Tropikal Mining di Sumatera; PT Indo Muro Kencana, PT Kelian Equatorial Mining, PT Indominco Mandiri, PT Adaro, PT Arutmin, PT Bahari Cakrawala Sebuku di Kalimantan; PT Inco, PT Newmont, PT Antam di Sulawesi; PT Newmont, PT Arumbai di Nusa Tenggara; PT Nusa Halmahera Mineral dan Pulau Wetar di kepulauan Maluku.
Persoalan sosial dan lingkungan itu bermuara karena tidak perangkat hukum yang tegas yang mengatur masalah pertanggungjawaban sosial dan lingkungan bagi perusahaan.
Memang ada program Corporate Social Responsibility (CSR). Menteri ESDM, Purnomo Yusgiantoro mengatakan program CSR tidak hanya penting bagi pemilik perusahaan tetapi juga bagi masyarakat sekitar dalam rangka menciptakan kondisi yang kondusif bagi kegiatan perusahaan juga bagi pemberdayaan masyarakat yang ada disekitar tambang.

Menurut Menteri ESDM, selain untuk pemberdayaan masyarakat, program ini dapat juga merupakan bagian dalam pelaksanaan prinsip-prinsip ketahanan nasional artinya bahwa dengan pemberdayaan masyarakat, maka masyarakat menjadi berkepentingan untuk turut mengamankan operasi perusahaan. Dalam pengembangan CSR, pemerintah memberikan tanggungjawab kepada perusahaan, dengan tidak memasukan dana pengembangan masyarakat dalam cost recovery
Namun, program tersebut dinilai tidak mengikat secara hukum kepada perusahaan. ”Karena bersifat sukarela, tidak dituntut perusahaan untuk bertanggungjawab,” ujar Sony Keraf, Wakil Ketua Komisi VII DPR bidang Pertambangan dan Energi.
Sony memandang, realisasi CSR hanya menjadi kamuflase perusahaan saja, seolah-olah perusahaan sudah melakukan pembangunan masyarakat. Padahal, lanjutnya, realisasi CSR tidak sesederhana itu.
Hingga saat ini, kata Sony, masyarakat yang tinggal di sekitar perusahaan besar menilai kehadiran perusahaan tidak memberikan manfaat bagi kehidupan.
Siti Maemunah mengatakan, jika bersifat voluntary maka tidak ada yang mengontrol dan bertanggungjawab terhadap realiasasi CSR. ”Sama saja bohong, jika tidak ada regulasi, dan tidak ada punishment, ” ujarnya kemarin.
Menurut dia, CSR kalau masih dalam bentuk sukarela, maka dapat menjadi alat legitimasi perusahaan dalam melakukan eksplorasi pertambangan. Dalam pertambangan minyak dan gas, CSR hanya life service perusahaan saja karena tidak ada yang mengatur.
Siti mendesak pemerintah agar melakukan regulasi aturan mengenai CSR, guna mengontrol dan mengetahui siapa yang paling bertanggungjawab jika perusahaan tidak serius merealisasikan CSR.
Sementara itu, Direktur CSR PT Riau Pulp and Paper (RAPP) Amru Mahalli mengakui jika belum ada peraturan dari pemerintah mengenai kewajiban bagi perusahaan untuk merealisasikan CSR. Namun, dia menilai eksistensi perusahaan juga tergantung dari tanggungjawab perusahaan dalam pengembangan masyarakat sekitar, sehingga realisasi CSR sangat penting.
Menurut dia, CSR sebagai komitmen perusahaan untuk pengembangan sosial masyarakat harus menjadi snowball effect bagi masyarakat secara lebih luas, dengan secara kontinue merealisasikan program tersebut.
Dalam realisasinya, CSR tidak hanya terpokus pada pemberian dana kepada masyarakat. ”Namun, paling penting adalah bagaimana memberdayakan masyarakat dengan keterampilan sehingga dapat mandiri,” ujarnya kepada Jurnal Nasional di Riau beberapa waktu lalu.
Amru menjelaskan ada lima kunci dalam menyukseskan CSR, yaitu komitmen dari top manajemen, konsep, sumberdaya manusia yang mengelola CSR, struktur organisasi yang mengatur otoritas, dan dana.
Sejauh ini katanya, perusahaan hanya memfokuskan pada pendanaan. Padahal yang lebih penting adalah memberdayakan masyarakat lewat pelatihan, setelah itu diketahui kelayakan dan keberhasilan dari sebuah pelatihan.
Petugas harus memfollow up pelatihan jika sudah masyarakat sudah siap, maka baru dibantu dalam penyediaan sarana dan produksi.
”Tidak dalam bentuk uang. Untuk menilai indikator pemberdayaan, dengan memperhatikan kelayakan penghasilan mitra bina sesuai dengan target. Jika tidak tercapai, maka perlu ada formalasi lagi, sehingga perlu diimprove lagi,” katanya.
Dalam program CSR, RAPP mengkaitkan dengan pengembangan pertanian terpadu (integrated farming system), pengembangan usaha kecil dan menengah (small and medium enterprises), pembangunan infrastruktur (infrastructure support), serta pelatihan masyarakat, dan pengembangan hutan tanaman masyarakat.

Menurut Troy Pantouw manajer humas RAPP, sekitar Rp33 miliar per tahun dana dikeluarkan RAPP untuk merealisasikan program CSR.
Menurut dia, jika kegiatan-kegiatan tersebut dikelola dengan baik akan menguntungkan pencitraan perusahaan dan membantu pengurangan tingkat kemiskinan di Riau sehingga tak menimbulkan konflik sosial. RAPP juga telah membentuk sebuah yayasan untuk mengajak lebih banyak pihak lain melaksanakan kegiatan CSR demi memberdayakan masyarakat dan mengentaskan kemiskinan di Riau.

M. Yamin Panca Setia

No comments: