Thursday, January 4, 2007

Penurunan BI Rate Harus Dorong Sektor Riil

Jakarta|Jurnal Nasional

KEBIJAKAN Bank Indonesia (BI) menurunkan BI rate harus disertai dengan implementasi sejumlah variabel pendukung pertumbuhan sektor riil di Indonesia. Penurunan BI rate dinilai hanya salah satu variabel pendukung pertumbuhan sektor riil.

Variabel lain yang harus diperhatikan pemerintah untuk meningkatkan pertumbuhan sektor rill adalah menekan ekonomi biaya tinggi (high cost economy), pengurangan pajak, meningkatkan daya saing, dan menciptakan iklim usaha yang baik.

Memang, penurunan BI rate sebesar 50 bps dari 10,25 persen menjadi 9,75 persen mendapat respon dari pelaku ekonomi. Namun, Wakil Ketua Komisi VI DPR bidang Perdagangan dan Industri Lili Asdjudiredja, menilai penurunan BI rate hanya salah satu variabel dalam meningkatkan sektor riil .

”Seharusnya, pemerintah juga memperhatikan variabel lain yang dapat mendukung pertumbuhan sektor riil, seperti menekan biaya tinggi, pengurangan pajak, meningkatkan daya saing, dan menciptakan iklim usaha yang baik,” ujarnya kemarin.

Menurut dia, penurunan BI Rate selama ini hanya menguntungkan kalangan perbankan saja. Sementara kalangan pengusaha dihadapi persoalan modal, dan biaya ekonomi tinggi dalam mengembangkan usahanya.

Hingga saat ini, lanjutnya, iklim ekonomi Indonesia masih dihadapi persoalan ekonomi biaya tinggi, dan lemahnya daya saing produk industri. Saat ini, politisi dari Fraksi Golkar itu menilai daya saing produk Indonesia di pasar internasional hanya menepati peringkat 175.

Karena itu, Lili mengharap pemerintah lebih serius dalam memberantas faktor penyebab biaya ekonomi tinggi di sektor riil . ”Biarkan pun suku bunga tinggi, tapi iklim usaha yang baik, maka akan lebih banyak berpengaruh terhadap pengembangan sektor riil.”

Sementara itu, Hasto Kristianto, anggota Komisi VI DPR dari Fraksi PDIP mengatakan BI rate memang berpengaruh pada pengembangan sektor riil. Namun, penurunan suku bunga bank selama ini hanya dimanfaatkan pelaku ekonomi besar, tidak menguntungkan pelaku ekonomi kecil.

Hasto khawatir, logika penurunan BI rate hanya dimanfaatkan oleh pemegang kapital pelaku ekonomi besar untuk mendapatkan bunga murah guna menjadi modal dalam mengembangkan sektor konsumsi.

Menurut dia, penurunan BI rate harus menjadi momentum bagi pemerintah dalam mengaktulisasikan skenario membangun sektor ekonomi rakyat, seperti meningkatkan kredit usaha kecil.

Dia juga menilai kalangan perbankan masih kurang memberikan akses kepada usaha kecil menengah dalam mendapatkan modal karena dianggap sektor ekonomi informal beresiko.

Karena usaha kecil menengah tidak punya legalitas atas status usahanya. Seharusnya, jika pemerintah komitmen pada pemberdayaan ekonomi rakyat, dengan momentum penurunan BI rate, maka dapat lebih mendorong agar sektor riil menjadi sentra pertumbuhan ekonomi.

”Jadi, perlu ada keberpihakan, memberikan legalitas, serta mempermudah akses modal untuk menggerakan usaha ekonomi rakyat.” ujarnya kemarin. Untuk mengembangkan sektor riil , lanjutnya, pemerintah juga harus mempercepat pembangunan infrastuktur agar memudahkan sektor primer bergerak.

Budi Mulya, Direktorat Perencanaan Strategis dan Hubungan Masyarakat BI mengatakan penurunan BI Rate juga membuka peluang bagi dunia usaha untuk memperoleh alternatif pembiayaan nonbank yang semakin murah. Kondisi ini memungkinkan dunia usaha untuk meningkatkan produksi dalam rangka memenuhi peningkatan permintaan domestik.

Menurut dia, kondisi industri perbankan menunjukkan pertumbuhan. Total aset yang didukung pertumbuhan aktiva produktif, termasuk kredit hingga Oktober 2006 meningkat sebesar Rp 66 triliun (9 persen-ytd).
Di tengah kecenderungan suku bunga kredit yang turun, pada Oktober, total aset industri perbankan meningkat menjadi Rp1.605,2 triliun di mana aktiva produktif industri bertambah sebesar Rp16,5 triliun (1,1 persen) yang didanai oleh peningkatan dana pihak ketiga sebesar Rp28,2 triliun (2,3 persen).

Sementara itu, Ketua Umum Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia (IAEI) Mustafa Edwin Nasution, menilai untuk mengembangkan sektor riil, maka dibutuhkan intermediasi antar lembaga keuangan. ”Tingginya intensitas intermediasi lembaga keuangan diyakini berdampak pada membaiknya kinerja perekonomian,” di Seminar Internasional Roadmap to Indonesian Financial Sector di Jakarta, kemarin.

Dia menilai intermediasi sangat penting sebagai perantara saving dan kapital yang merupakan sumber endogen pertumbuhan suatu negara. kealpaan dalam membangun sektor tersebut, berdampak besar timbulnya masalah ekonomi seperti bubble economic yang berpotensi menimbulkan krisis.

Menurut dia, dengan intermediasi, mekanisme transmisi yang terjadi adalah kredit dipinjamkan ke perusahaan, dan perusahaan akan menambah volume usaha, sehingga terjadi penambahan tenaga kerja, dan konsumsi yang mendorong meningkatnya agregat demand.

Di Indonesia, rasio aset perbankan nasional terhadap GDP berada pada kisaran 1,7 sampai 2,67. Penggunaan rasio aset lembaga keuangan, khususnya perbankan terhadap output masih diragukan dalam mengukur intensitas intermediasi.

Akibatnya, lembaga keuangan di Indonesia, khususnya perbankan syariah belum efisien dengan melihat tingkat non performing loan secara nasional yang berada di atas 5 persen, yaitu 8,35 persen. kredit yang disalurkan ke sektor riil juga hanya 49 persen dari total aset nasional sehingga mengambarkan ketidaktepatan pengunaan rasio total aset lembaga keuangan terhadap total outpun nasional.

Mustafa menilai fungsi intermediasi perbankan di Indonesia belum berjalan baik, padahal mengintegrasikan sektor keuangan dengan sektor riil akan meningkatkan kedua sektor tersebut sehingga pertumbuhan ekonomi makro berjalan.

PENURUNAN BI rate sebesar 50 bps dari 10,25 persen menjadi 9,75 persen yang ditetapkan Bank Indonesia (BI) berdasarkan evaluasi kondisi makroekonomi, survei, dan rencana pencapaian sasaran inflasi tahun 2007 yaitu 6 persen plus minus 1 persen.

Sejak Mei 2006, penurunan BI rate telah mencapai total 300 basis poin. Penurunan BI rate tersebut diharapkan dapat semakin memicu pertumbuhan ekonomi di Indonesia

Deputi Gubernur Senior BI Miranda S. Goeltom mengatakan selama 2006 inflasi masih cukup rendah, atau sedikit lebih tinggi dari tahun ini. Menurut dia, secara ekstrim, inflasi sangat rendah. Namun, sesuai dengan alur, BI diharapkan dapat menuju medium term inflation yang pada tahun 2008 mencapai 5 persen.

”Ke depan, BI harus melihat, apakah kondisi seperti sekarang ini, dari sisi inflasi, masih terjadi atau tidak,” ujarnya usai seminar Internasional bertajuk Roadmap to Indonesian Financial Sector di Jakarta, kemarin.

Pada tahun 2007, lanjutnya, tingkat inflasi diprediksi sedikit lebih tinggi dibanding tahun 2006, yakni mencapai 6 persen plus minus 1 persen. Meski lebih tinggi, BI menilai kondisi tersebut masih belum perlu dikhawatirkan.

Namun, Miranda menegaskan, mengingat tahun ini BI cukup agresif menurunkan suku bunga, maka pada tahun 2007, ruang penurunan suku bunga tidak lagi sebanyak sekarang.

”Anda bayangkan sekarang 300 basis poin, jadi sangat mustahil pada tahun depan, kita menurunkan hingga 300 basis poin lagi. Karena berarti sudah 675 basis poin.”
Inflasinya 6 persen plus minus 1 persen menjadikan BI harus bersikap dan berperilaku lebih bijaksana dan berhati-hati.

Kalaupun ada ruang penurunan, kata Miranda, pasti lebih lambat dan lebih kecil karena sebuah bank sentral—dalam menurukan suku bunga—tidak melihat pada satu variabel saja, tapi melihat banyak variabel salah satunya nilai tukar.

Dari pengamatan BI, dibanding tahun sebelumnya, tahun 2006 depresiasi terhadap inflasi lebih kecil. Kalau pun terjadi depresiasi, harga barang ekspor tidak terlalu mahal. Sebelumnya, depresiasi menyebabkan inflasi sekitar range 0,4 persen hingga 0,15 persen. Sekarang, lebih kecil, depresiasi dampaknya terhadap inflasi tidak begitu signifikan.

”Ini berarti membuka peluang bagi BI untuk melihat seberapa besar perlu khawatir atau tidak,” ujar Miranda.

Realitas tersebut, tidak hanya terjadi di Indonesia. Menurut Miranda, hampir di 30 bank sentral negara lain juga mengalaminya sebagai dampak pertumbuhan ekonomi China yang memproduksi barang dengan harga murah.

Menteri Keuangan Sri Mulyani menyambut positif penurunan BI rate jika diimbangin konsistensi kebijakan. Sri menilai masih ada ruang untuk penurunan BI rate kembali. Menkue memperkirakan inflasi tahun 2006 bisa berkisar pada angka 6 persen, dengan pertumbuhan ekonomi pada kuartal IV mencapai di atas 6 persen dan year on year sebesar 5,5-5,6 persen.

Meski demikian, inflasi yang sangat rendah menyebabkan BI tidak bisa membuat kebijakan keuangan secara one to one. “Tidak bisa naik inflasi, lalu naik juga suku bunga tinggi.”

Namun, BI juga harus mempertimbangkan situasi dan kondisi yang terjadi pada saat mendatang untuk memperketat suku bunga. Kebijakan moneter BI akan melihat keadaan seperti harga minyak dunia yang dipastikan akan mendapat respon beda dari BI.

Miranda menambahkan, BI bersama Depkeu tengah membahas soal pajak kepada bank dalam proses merger. Hal itu terkait dengan kurangnya minat bank-bank yang modalnya minim melakukan merger, salah satunya karena dikenai pajak.

”Depkeu rasanya ada pemahaman soal beban pajak. Namun, saya harus menunggu keputusan dari Depkue, seberapa besar dampaknya, karena Depkue juga harus hitung-hitungan juga.”

Menurut dia, merger hanya pengalihan kepemilikian, bukan pembelian yang lumrah dikena pajak penjualan, karena itu tidak perlu dikenakan pajak.

Miranda mengakui jika ada beberapa bank kecil yang hendak merger dengan asing. BI mengharap agar bank-bank kecil itu merger dengan bank kecil lainnya, daripada langsung marger ke asing.

”Kita mengharapkan seperti itu, merger dulu hingga kuat sehingga mempunyai position yang lebih baik, sehingga diakuisisi menjadi satu bank, lalu baru mau dijual dan mencari investor yang lebih kuat.”

Rencana merger pada tahun 2007 akhir sudah harus mencapai Rp80 miliar, sementara pada tahun 2010 harus mencapai Rp100 miliar. ”Jika belum bisa, maka akan diturunkan demikian rupa status bank tersebut, jadi kalau tidak ada modal, maka tidak bisa.”

Terkait dengan harapan sejumlah bank agar BI memberikan insentif, Miranda mengatakan BI sudah memberikan empat insentif merger, berbagai kemudahan, termasuk bank-bank itu diberikan waktu lebih banyak untuk membersihkan segalanya.
BI menilai kondisi industri perbankan menunjukkan pertumbuhan, seperti tercermin pada pertumbuhan total asset yang didukung pertumbuhan aktiva produktif, termasuk kredit. Pertumbuhan kredit selama tahun 2006 (hingga Oktober) meski masih di bawah target, telah meningkat sebesar Rp 66 triliun (9%-ytd ).

Total aset industri perbankan juga meningkat menjadi Rp1.605,2 triliun di mana aktiva produktif industri bertambah sebesar Rp16,5 triliun (1,1 persen) yang didanai oleh peningkatan dana pihak ketiga sebesar Rp28,2 triliun (2,3 persen). M. Yamin Panca Setia

No comments: