Thursday, January 4, 2007

Pemilihan Kepala Daerah NAD

Berharap Damai Usai Pesta Digelar


Jakarta|Jurnal Nasional

PESTA politik maha akbar digelar hari ini di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Hari ini, rakyat Serambi Mekah berbondong-bondong mendatangi tempat pemungutan suara (TPS) untuk memilih calon gubernur dan wakilnya, serta 19 bupati dan walikota beserta wakilnya.

Bagi masyarakat Aceh, Pilkada adalah langkah mengapai cita-cita menuju damai dan sejahtera setelah sekian lama terjebak dalam sebuah konflik berkepanjangan. Pilkada Aceh sebagai realisasi perjanjian damai yang tercantum dalam MoU di Helsinki, Finlandia tanggal 15 Agustus 2005 lalu, antara Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM)—diharapkan dapat benar-benar berlangsung demokratis, tanpa ada anarki.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengharap agar Pilkada Aceh tidak menggangu perdamaian yang sudah mulai dirasakan dan dinikmati masyarakat Aceh. Pilkada Aceh diharapkan tidak menggangu kesepakatan damai MoU Helsinki yang telah dicapai dengan susah payah.

Kepada para kandidat, Kepala Negara menghimbau agar mempunyai sikap bahwa kepercayaan rakyat yang diberikan kepadanya merupakan ujian, serta cobaan. Kepala Daerah Aceh mendatang juga memiliki tugas yang maha berat.

Pengamat Masalah Aceh, Prof Dr Bachtiar Aly MA mengatakan sangat disayangkan jika Pilkada Aceh berlangsung hingga berdarah-darah. Menurut dia, Pilkada yang berlangsung secara demokratis, jujur dan adil adalah ajang konsultasi bagi rakyat Aceh agar terbebas dari konflik berkepenjangan dan menggapai kesejahteraan.

Guru Besar Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia keturunan Aceh itu menyakini jika semua calon kepala daerah komit terhadap perdamaian di Aceh. ”Itu nampak dari proses kampanye yang berlangsung dengan baik tanpa diwarnai black campaing,” ujarnya di kepada Jurnal Nasional di Gedung DPR Jakarta akhir pekan lalu.

Dia juga menilai partisipasi politik rakyat Aceh menyambut Pilkada juga sangat tinggi. Di warung kopi misalnya, wacana Pilkada menjadi perdebatan yang sengit disertai analisis mendalam yang selalu diperbicangkan rakyat Aceh. Pengharapan akan Pilkada damai juga nampak saat kampanye kandidat yang tidak diwarnai kekerasan.

”Saya yakin, optimis, karena semua stakeholder yang berhubungan dengan Aceh, berkepentingan Aceh untuk damai. Jika tidak, cost-nya akan terlalu mahal karena Aceh belajar dari konflik berkepanjangan.”

Termasuk GAM, lanjut Bachtiar, tidak akan berani macam-macam karena akan mendapat vonis dari rakyat Aceh. Kepada para kandidat, dia menghimbau agar meski kalah tetap kompak membangun Aceh. Kepada yang menang, dapat mengembangkan koalisi, atau menjaga hubungan. Namun, Bachtiar mengingatkan agar rakyat dapat memilih kandidat yang berkualitas sehingga dapat menyejahterakan rakyat Aceh.

Menurut dia, masyarakat sadar lebih memilih figur kandidat yang berkualitas dengan sehingga tidak mudah menerima iming-iming uang. Masyarakat Aceh sadar jika daerahnya membutuhkan pemimpin yang dapat mengelola dana besar yang dimiliki Aceh sebagai provinsi kaya untuk kesejahteraan rakyat.

Penerimaan fiskal pemerintah provinsi, kota dan kabupaten di Aceh meningkat drastis sejak beberapa tahun terakhir. Sebelum bencana tsunami, penerimaan fiskal Aceh pada tahun 2004 per kapita Rp 1,8 juta per tahun. Setelah tsunami menghantam 26 Desember 2004 lalu, Aceh menerima bantuan dana yang luar biasa dari pemerintah dan masyarakat international dalam proses rehabilitasi dan rekonstruksi.

Pada tahun 2006, total dana yang mengalir ke Aceh mencapai Rp28 triliun. Rp16 triliun dialokasikan untuk program rehabilitasi dan rekonstruksi, dan penerimaan pemerintah daerah dan dana dekonsentrasi sebesar Rp12 triliun.

Sejak tahun 1999, penerimaan fiskal dari pemerintah pusat yang dikelola oleh pemerintah provinsi, kabupaten dan kota meningkat tajam dari Rp 2 triliun mencapai Rp 11 triliun di tahun 2006. Saat ini sekitar Rp45 triliun telah teralokasikan ke dalam 1.500 proyek yang dikerjakan oleh lebih dari 300 organisasi. Pengeluaran total dalam upaya rekonstruksi Aceh diperkirakan melebihi Rp70 triliun pada tahun 2009.

”Jadi, rakyat Aceh membutuhkan pemimpin yang bisa mengelola dana yang amat besar, rakyat Aceh tidak lagi boleh dibohongi,” kata Bachtiar.

Kepala daerah Aceh juga nantinya harus merespon dan menjawab persoalan yang hingga kini masih dirasakan oleh para korban Daerah Operasi Militer (DOM), dan para korban tsunami. Jiak mampu diselesaikan, Bachtiar memastikan sejarah kelam itu akan menjadi bom waktu bagi Aceh kedepan.

Sementara itu, Mantan Ketua Pansus Undang Undang Pemerintahan Aceh (UU PA) Ferry Mursidan Baldan menghimbau agar Pilkada damai tak hanya menjadi harapan rakyat Aceh. Namun, Pilkada damai harus dilaksanakan kepada peserta dan penyelenggara Pilkada Aceh.

Dari pemantauan, Ferry menilai tidak ada persoalan mengemuka di lingkungan masyarakat Aceh menjelang Pilkada. Masyarakat menunjukan partisipasi politik rill yang positif dengan menyepakati tidak adanya kampanye arak-arakan. ”Itu menarik dan menjadi point penting, mayarakat Aceh sudah menunjukan partisipasi rill dalam menyambut Pilkada damai di daerahnya.”

Dia hanya mengkhawatirkan Pilkada akan menuai persoalan jika Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh selaku penyelenggara tidak bersikap netral, jujur dan adil dalam Pilkada. ”Masyarakat Aceh sangat siap menyambut Pilkada. Tinggal bagaimana dengan pasangan calon, dan KIP.”

Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Golkar tersebut juga menghimbau agar para kandidat agar tidak mengekploitasi persoalan yang bisa diselesaikan di tingkat lokal menjadi persoalan di tingkat provinsi, dengan harapan agar diketahui pemantau asing.

Ferry menilai proses kampanye Pilkada di Aceh berlangsung cukup baik. Dia menilai usaha saling menjelekan antar kandidat tidak begitu mengemuka. ”Para kandidat sudah on track untuk melaksanakan Pilkada damai.”

Tahap selanjutnya, lanjut Ferry, kandidat yang menang harus konsisten mengimplementasikan UU No 11 tahun 2006 Pemerintahan Aceh untuk memecahkan problem di Aceh.

Ketua Komisi Independen Pemilihan (KIP) Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), M Jafar mengatakan semua kalangan mengharap Pilkada dapat berlangsung lancar.

Sebagai penyelenggara, katanya, KIP akan berusaha mewujudkan Pilkada Aceh yang jujur dan adil. Menurut dia, KIP terdiri dari 60 ribu personil, mulai dari tingkat provinsi, hingga ke TPS. Namun, katanya, tidak bisa dipastikan jika semua anggota KIP punya keinginan untuk mewujudkan Pilkada yang jujur dan adil.

”Karena itu, perlu instrumen lain seperti Panwas, pemantau, dan saksi untuk mewujudkan Pilkada yang jurdil. Jika ada pelanggaran akan diberikan sanksi yang tegas sehingga Pilkada dapat berhasil dengan baik,” ujarnya saat dihubungi Jurnal Nasional kemarin.

Departemen Dalam Negeri (Depdagri) juga optimis pelaksanaan Pilkada di Aceh berlangsung damai dan aman. Pasalnya, seluruh kandidat kepala daerah telah berkomitmen menegakkan Pilkada damai. Depdagri telah membentuk Desk Pilkada Aceh melakukan pemantauan secara khusus setiap perkembangan yang terjadi di lapangan.

Juru bicara Depdagri Drs A Tarwanto mengatakan masyarakat nasional dan internasional memantau jalannya Pilkada di Aceh yang diklaim sebagai yang terbesar di Indonesia, karena dilakukan serentak dengan pemilihan gubernur, bupati dan walikota.

*******

KOMISI Independen Pemilihan (KIP) Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) akan berusaha maksimal menyelenggarakan pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara damai. KIP meminta agar seluruh stakeholder yang terkait dengan Pilkada Aceh dapat bersama-sama melaksanakan peran dan fungsi untuk mewujudkan Pilkada damai di Aceh.

Ketua KIP Provinsi NAD M Jafar mengatakan Pilkada damai di Aceh adalah harapan semua. Pihaknya akan berusaha semaksimal mungkin agar dapat mewujudkan Pilkada damai, jujur dan adil. KIP telah menerjunkan 60 ribu personil yang terlibat dari tingkat propinsi hingga ke tingkat TPS dalam Pilkada calon gubernur dan wakilnya, serta 19 bupati dan walikota beserta wakilnya yang digelar secara serentak hari ini.

Jafar memastikan semua logistik telah didistribusikan ke semua desa. ”Berdasarkan laporan yang kita terima dari daerah yang terpencil, semua logistik suadh didistribusikan ke desa-desa yang sulit terjangkau seperti bekas kawasan tsunami, Aceh Timur, Selatan dan sebagainya,” ujarnya saat dihubungi Jurnal Nasional kemarin. Saat ini, lanjutnya, KIP akan menyelesaikan penggarapan undangan dan pembuatan TPS yang harus siap sebelum hari pemungutan suara.

Terkait masih adanya sejumlah anggota masyarakat yang belum terdaftar, Jafar mengatakan sesuai dengan aturan, warga yang menggunakan hak pilih hanya yang telah terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT). Jika tidak terdaftar, maka tidak diizinkan untuk memilih. Menurut Jafar, KIP sudah memberikan kesempatan waktu kepada masyarakat agar segera mendaftar sejak tanggal 18 Nopember yang lalu.

Sejumlah kalangan mengkhawatir jika persoalan tersebut dapat berpotensi konflik. Lukman Budiman Tadjo, Manajer Pemantauan Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) mengatakan persoalan tidak terdaftarnya warga dalam DPT akan memicu konflik.

Menurut dia, dari laporan yang diterima JPPR, warga yang tidak masuk dalam DPT, banyak ditemukan di daerah pengungsian. “Banyak masyarakat di daerah pengungsian bingung, dan tidak tahu bagaimana. Bingung apakah terdaftar di daerah lama, sementara dirinya tinggal di daerah baru,” kata Lukman yang berada di Aceh.

Lukman mengatakan persoalan tersebut terjadi karena warga pindah ke wilayah administrasi yang berbeda setelah tsunami terjadi. Hingga saat ini, katanya, belum jelas mengenai kepastian yang dilakukan penyelenggara pilkada untuk memobilisasi warga tersebut.

Dia mengkhawatirkan mobilisasi terhadap warga tersebut, kemungkinan orang-orang yang dimobilisir memilih kandidat tertentu. Lukman mendesak KIP untuk menerapkan aturan tegas jika warga yang tidak masuk dalam DPT tidak bisa memilih.

Jafar mengatakan KIP harus berpegang pada aturan. ”Apakah harus mengakomodir kepentingan puluhan orang, namun mengorbankan Pilkada secara keseluruhan, di mana orang yang tidak terdaftar sebagai pemilih tetap, diizinkan untuk memilih yang menyebabkan Pilkada itu tidak sah,” ujarnya.

Direktur Eksekutif Centre for Electoral Reform (Cetro), Hadar Navis Gumay mengatakan jika ada kendala, dan keluhan dalam pelaksanaan Pilkada seharusnya segera direspon. Jika tidak, maka bisa menjadi akumulasi kekecewaan, bahan ketegangan dan konflik.

Dari pengalaman pelaksanaan Pilkada, kata Gumay, persoalan yang biasa ditemukan adalah daftar pemilih yang tidak cukup akurat dan prosesnya berlarut-larut sehingga penetapannya sudah mendekati hari pungutan suara, atau bahkan tidak ditetapkan karena penyelenggara kerepotan.

Persoalan lainnya, karena kurang tegasnya aturan terutama hal-hal yang berkaitan denan penetapan calon, dan kampanye sehingga sering menimbulkan protes atau gugatan. ”Kalau itu tidak direspon maka akan menumpuk kekecewaan sehingga diujungnya menjadi protes besar.”

Lukman juga mengkhawatirkan konflik akan mencuat pada putaran ke dua Pilkada Aceh. Dia mencontohkan jika kandidat dari parpol dan independen yang masuk dalam putaran ke dua, maka akan terjadi akumulasi massa.

”Yang dari parpol adalah yang pro Republik, sementara yang independen secara kultural di dukung oleh GAM. Itu bahaya,” ujarnya. Dia mengharap agar kampanye damai tidak hanya sampai di batas struktural saja, namun juga harus lebih menyentuh di tingkat rakyat secara kultural dengan masuk ke warung kopi.

Jafar menilai memang pada Pilkada tahap II konflik akan tajam, karena sudah diketahui siapa lawan dan kawan. Dia menghimbau agar para kandidat kampanye damai yang pernah dikumandangkan saat kampanye tidak sebatas slogan namun diwujudkan setelah Pilkada usai. Para kandidat dan masyarakat harus menghargai perbedaan pilihan bukan sebagai permusuhan.

Menurut dia, dari beberapa pernyataan saat kampanye, para kandidat sepakat dalam mengikrarkan perdamaian dengan siap menang dan kalah. ”Namun, kita tidak tahu sebelum melihat hasilnya nanti, semoga Pilkada damai yang diucapkan tidak hanya slogan, tapi diwujudkan setelah Pilkada,” ujarnya.


*******

SEMUA mengharap Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang digelar hari ini di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dapat berlangsung damai. Peristiwa politik di kawasan paling barat Indonesia itu sekiranya dapat menjadi momen untuk melanjutkan pembangunan Aceh setelah sekian lama terjebak dalam keterpurukan.

Harapan itu tak hanya dikumandangkan rakyat Aceh, namun pemerintah Indonesia, bahkan dunia internasional juga mengharapkan Pilkada damai di Aceh.

Pilkada memang telah menjadi perhatian dunia. Parlemen Eropa telah menurun sejumlah tim untuk mengawasi prosesi politik di Aceh. Pilkada Aceh menjadi isu yang dibahas di Parlemen Eropa karena Uni Eropa berkepentingan menjadikan Pilkada Aceh sebagai model dalam menyelesaikan konflik.

Selain itu, Kementerian Luar Negeri Jepang juga telah mengirim enam orang pengamat ke Aceh untuk mengawasi Pilkada Aceh. Tim dari Jepang itu akan menyaksikan keadaan pelaksanaan pemberian suara hingga perhitungan suara.

”Jepang menyambut baik kemajuan proses perdamaian Aceh, dan mengharapkan agar Pilada kali ini dapat yang sangat penting bagi terbinanya perdamaian secara berkesinambungan di Aceh, dapat berlangsung secara adil dan lancar,” tulis rilis dari Kedutaan Besar Jepang di Indonesia yang diterima Jurnal Nasional akhir pekan lalu.

Sementara itu, Komisi Pemilihan Umum Malaysia (Election Commission of Malaysia) dan Kedutaan Besar Malaysia di Jakarta juga berpartisipasi memantau Pilkada Aceh.

Kepada pers, Ketua Delegasi tim pemantau Malaysia, Tan Sri Dato Haji Abdul Rashid bin Abdul Rahman mengatakan Malaysia mengirim tim yang beranggotakan delapan orang untuk memantau tahapan Pilkada, seperti masa tenang, pemungutan suara, penghitungan suara, dan kebebasan media dalam meliput Pilkada Aceh.

Para pemantau itu akan ditempatkan di sejumlah tempat pemungutan suara (TPS) di Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Besar. Rashid memuji tahapan Pilkada Aceh yang berjalan tanpa adanya insiden dan kerusuhan, khususnya pada masa kampanye.

Komisi Independen Pemilihan (KIP) Provinsi NAD menyebutkan sebanyak 34 relawan asing sudah mendaftar untuk menjadi memantau pelaksanaan Pilkada Aceh. di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD).

Setidaknya, relawan asing itu dikirim lewat International Republican Institut (IRI) dari Amerika Serikat, Uni Eropa, Asian Network for Free Election.

Sementara itu, ada lima lembaga lokal dan nasional telah mendaftarkan yaitu Jaringan Pemantau Pemilihan Rakyat (JPPR) sebanyak 138 orang, Forum Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) sebanyak 441 pemantau dan Aceh International Recovery Program 218 orang.

Total pemantau sebanyak 800 orang dinilai belum memadai untuk memantau jalannya pilkada di NAD karena jumlah Tempat Pemungutan Suara (TPS) mencapai 10.000 TPS.

Namun, kehadiran para pemantau asing sempat membuat gusar sejumlah kalangan karena ditemukan adanya pemantau asing yang menyebarkan angket kepada masyarakat berisi pernyataan apakah rakyat Aceh memilih merdeka atau berintegrasi dengan Indonesia.

Ketua KIP Provinsi NAD, M Jafar mengatakan KIP telah melakukan investigasi dan menanyakan langsung kepada lembaga pemantau asing dan lokal mengenai isu tersebut, ternyata belum ada indikasi adanya angket tersebut.

Jika ditemukan, KIP dapat mencabut status dan hak lembaga pemantau asing dan menyampaikannya kepada Menlu, Mendagri, Kapolri, Menkum dan HAM, Gubernur NAD, serta bupati/walikota se-NAD sesuai dengan Surat Keputusan Bersama (SKB) dua Menteri.

Mengenai pengawas asing, bagi kita tetap harus diawasi karena bagi kita Aceh sebagai bagian dari NKRI, dengan cara bagaimana mempersiapkan pemerintah daerah agar dapat melakasnakan UU No 11 2006, salah satu pointnya adalah terpilihnya pemimpin daerah yang definitif.

Ferry Mursidan Baldan, Mantan Ketua Pansus UU Pemerintah Aceh menegaskan KIP harus tegas kepada pemantau asing yang melakukan pelanggaran.

”Kalau ada hal-hal yang sifatnya di luar agenda Pilkada, seperti kuisioner di luar agenda Pilkada, maka harus diawasi, kita tidak boleh bermain api, dan tidak boleh memberikan peluang yang dapat merugikan. Harus dihentikan,” tegas Ferry di Gedung DPR akhir pekan lalu.

Dia menilai jika benar kuisioner itu disebarkan sama saja menganggap Pilkada tidak menjadi penting bagi perdamaian di Aceh. Menurut Ferry, asing bisa hadir sebagai pemantau, namun tidak boleh menggangu pembangunan masa depan Aceh seperti yang diatur dalam UU No 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.

Ferry mengingatkan agar pemantau asing tidak boleh secara langsung mempengarui rakyat Aceh. ”Tidak boleh pemantau asing datang ke TPS, lalu menanyakan ke mayarakat, sudah memilih atau belum, memilih apa dan kenapa memilih.”

Sementara itu, Ketua KIP Provinsi NAD, M Jafar menghimbau agar Panwas meningkatkan identifikasi terhadap semua pelangaran. Pihaknya akan mengawasi jika terjadi pelanggaran administratif. Sementara pelanggaran secara keseluruhan adalah tanggungjawab Panwas.

M. Yamin Panca Setia

No comments: