Thursday, January 4, 2007















Pemberantasan Korupsi

Tak Lekang oleh Vonis MK

Jakarta|Jurnal Nasional

KEPUTUSAN Mahkamah Konsitusi (MK) yang mengabulkan judicial review Pasal 53 UU No 30/2002 Tentang KPK yang diajukan para koruptor, setidaknya dapat semakin memperkuat keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam memerangi kejahatan korupsi di negeri ini.

Keputusan MK mengabulkan judicial review terhadap Pasal 53 UU KPK tentang keberadaan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) UU KPK, yang diajukan Mulyana Wirakusumah, Nazaruddin Sjamsuddin, Ramlan Surbakti, Rusadi Kantaprawira, Daan Dimara, Chusnul Mar’iyah, Valina Singka Subekti, Safder Yusacc, dan Hamdani Amin, cukup beralasan.

Dalam keputusan setebal 295 halaman yang dibacakan Ketua MK Jimly Asshiddiqie, MK menilai Pasal 53 UU KPK telah melahirkan dua sistem peradilan yang menangani korupsi sehingga bertentangan dengan UUD 1945.

Akibatnya, upaya penanganan korupsi di pengadilan umum dan Pengadilan Tipikor selama ini menampakan ada standar ganda karena mekanisme peradilan yang diterapkan berbeda. Pembentukan Pengadilan Tipikor juga hanya berdasarkan UU KPK, bukan dengan UU tersendiri.

Seluruh badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung, baik peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer maupun peradilan tata usaha negara, semuanya diatur secara khusus dalam suatu undang-undang atau aturan hukum yang terpisah dari ketentuan yang mengatur tentang suatu lembaga negara tertentu.

Penasehat KPK Abdullah Hehamahua mengatakan, sebagai aparat penegak hukum, KPK harus taat asas dan menghormati keputusan MK. Dia menegaskan keputusan MK itu, tidak melunturkan semangat KPK dalam memberantas korupsi.

“Justru, akan semakin memperkuat posisi KPK karena MK telah memasukan KPK sebagai lembaga negara dalam memberantas korupsi, berarti KPK diakui secara konstitusional melalui keputusan MK,” katanya kepada Jurnal Nasional kemarin.

Dengan demikian, katanya, nanti akan ada UU Pengadilan Tipikor yang berwenang dalam mengadili semua kasus korupsi. “Itu sesuai dengan strategi KPK,” ujarnya.
Selain itu, selama tiga tahun, Pengadilan Tipikor tetap berjalan seperti biasa, karena MK mempertimbangkan asas kemanfaatan sehingga tidak serta merta membekukan Pengadilan Tipikor.

Pasal 53 UU KPK tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat sampai diadakan perubahan paling lambat tiga tahun terhitung sejak putusan dikeluarkan MK.

Komitmen pemberantasan korupsi sekarang tergantung dari pemerintah dan DPR untuk segera mengejar target menyelaraskan UU KPK dengan UUD 1945 sebagai acuan hukum bagi KPK untuk memberantas korupsi sesuai deadline yang ditetapkan MK.

Sementara itu, Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaludin kepada pers mengatakan pemerintah menerima dan masih mengkaji putusan MK. Dalam waktu tiga tahun, lanjutnya, pemerintah bersama DPR akan segera mengevaluasi putusan tersebut untuk melakukan langkah selanjutnya.

Pemerintah juga akan mendiskusikannya dengan MK untuk mengetahui titik pandang MK sehingga menganggap pasal itu bertentangan dengan UUD 1945. Hamid yakin penyusunan dan pengesahan UU Pengadilan Tipikor dapat selesaikan bersama DPR dalam waktu relatif singkat. Pembahasan RUU Pengadilan Tipikor bisa digelar para masa sidang DPR Tahun 2007.

Pengamat Hukum Mahfud MD menilai, keputusan MK telah memperhatikan asas kemanfaatan dan keadilan. Namun, kebenaran putusan MK itu bersifat relatif.

Menurut dia, bisa saja MK memutuskan Pengadilan Tipikor bertentangan dengan UUD 1945 dengan dasar hukum pasal 28H mengenai kepastian hukum. Tetapi, jika MK memutuskan bahwa pengadilan Tipikor benar, bisa juga dikaitkan dengan pasal 29J yang isinya tentang asas kemanfaatan dan keadilan.

Anggota DPR dari Fraksi PKB itu juga mengatakan, secara logika hukum seharusnya MK tidak boleh memutus sesuatu yang inkonstitusional, namun masih diberlakukan. “Itu tidak boleh, karena terkait dengan asas kepastian hukum.”

Namun, lanjutnya, pemberlakuan hukum yang inkonsitusional bisa dilakukan terkait dengan asas kemanfaatan karena diperlukan masyarakat. Terlepas benar atau salah keputusan yang dikeluarkan MK, kata Mahfud, keputusan MK tetap mengikat sehingga harus diterima dan dilaksanakan.

Mahfud mendukung keputusan MK karena mempertimbangkan asas manfaat dan keadilan, dengan tetap memberlakukan Pasal 53 hingga tiga tahun sambil menunggu agar DPR dan pemerintah segera menyusun UU Khusus Pengadilan Tipikor.

Menurut Jimly, permohonan pengujian terhadap UU KPK a quo, harus diterima dan dipandang sebagai upaya hukum yang wajar dan harus dihormati untuk menegakkan hak-hak asasi yang dijamin oleh UUD 1945 dan tidak boleh secara a priori dicurigai sebagai bentuk perlawanan balik (fight back) yang bersifat inkonstitusional.

“Menafikan hak warga negara untuk melakukan upaya hukum dalam rangka mencari keadilan (access to justice) dapat dinilai sebagai pengingkaran terhadap hak asasi manusia dan sekaligus tidak menghormati prinsip negara hukum,” katanya.

MK juga mengharap putusan yang ditetapkannya tidak menyebabkan ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid) yang dapat mengakibatkan kekacauan dalam penanganan atau pemberantasan tindak pidana korupsi, dan melemahnya semangat (disinsentive) pemberantasan korupsi yang telah menjadi musuh bersama bangsa dan masyarakat Indonesia.

Lebih Progresif

Sementara itu, Pengamat Hukum Universitas Andalas, Saldi Irsa menghimbau agar KPK lebih progresif memberantas korupsi setelah MK mengeluar keputusan. Selama ini, Saldi menilai energi KPK lebih banyak habis untuk memperdebatkan soal permohonan judicial review UU KPK yang diajukan koruptor ke MK.

Menurut dia, putusan MK memberikan isarat jika MK sudah menutup semua pasal-pasal kunci yang dipersoalkan soal eksistensi KPK dalam memberantas korupsi. “MK sudah menutup pengajuan judicial review terhadap UU pemberantasan korupsi. Jadi, KPK harus membuktikan energinya ke kasus yang ada,” katanya kemarin.

KPK harus menunjukan kepada publik jika tidak tebang pilih dalam memberantas korupsi. Pengusutan korupsi yang dilakukan KPK tidak hanya terpokus kepada pejabat atau mantan anggota legislatif yang sudah tidak punya pegangan politik.

Namun, indikasi korupsi yang melibatkan pejabat pemerintah dan legislatif yang tengah berkuasa harus serius diusut agar mengembalikan kepercayaan publik yang sudah mulai luntur terhadap usaha KPK dalam memberantas korupsi.

Saldi juga mendesak pemerintah dan DPR mempercepat dalam menerbitkan UU Khusus Pengadilan Tipikor. Eksistensi Pengadilan khusus korupsi sangat penting, karena jika hasil penyidikan KPK terhadap kejahatan korupsi diserahkan ke pengadilan umum, maka hasilnya akan berbeda. ”Di pengadilan negeri, banyak kasus korupsi yang kemudian bebas begitu saja, dengan pertimbangan yang sulit dipercaya.”

Sejauh ini, katanya, track record Pengadilan Tipikor cukup baik. Setidaknya mampu membuat takut para koruptor.

‘Bola’ itu Kini di Senayan

MAHKAMAH Konstitusi (MK) memberikan “deadline” tiga tahun kepada DPR dan pemerintah untuk menyelaraskan UU No.30 Tahun 2002 KPK, khususnya Pasal 53 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) agar diselaraskan dengan UUD 1945.

“Apabila dalam jangka waktu tiga tahun tidak dapat dipenuhi oleh pembuat undang-undang, maka ketentuan Pasal 53 UU KPK tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat lagi,” ujarnya Ketua MK Jimly Asshiddiqie saat membacakan putusan MK atas usulan judicial review UU KPK yang diajukan Nazaruddin Sjamsuddin cs, terdakwa kasus korupsi KPU, di Kantor MK Jakarta, Senin lalu.

Jika dalam rentang waktu tiga tahun tak juga selesai diselaraskan, maka eksistensi Pengadilan Tipikor akan berakhir sehingga semakin membuka peluang semaraknya praktik korupsi di negeri ini.

Wakil Ketua Komisi III DPR yang menangani bidang Hukum Muzzammil Yusuf mengatakan, tiga tahun waktu yang diberikan MK sangat cukup bagi DPR dan pemerintah untuk merevisi UU KPK.

Politisi dari Fraksi PKS itu menilai memang diperlukan UU Khusus Pengadilan Tipikor sehingga segala kasus korupsi terpusat pada satu lembaga. Selama ini, pengadilan umum juga menangani kasus korupsi sehingga terjadi tumpang tindih dalam menangani kasus korupsi dengan Pengadilan Tipikor.

UU KPK selama ini menimbulkan tanda tanya kepada Pengadilan Tipikor yang berada di bawah KPK, sehingga ada tuduhan miring jika Tipikor dipengarui KPK.

“Lalu, selama ditangani KPK dan Pengadilan Tipikor, sanksinya berat. Sementara kasus korupsi yang ditangani pengadilan umum, tidak begitu berat sehingga untuk menjamin keadilan semua pihak, maka perlu dibuat jalan tengahnya dengan pengadilan khusus,” ujarnya kemarin.

Dia memandang keputusan MK agar Pasal 53 UU No.30 Tahun 2002 ditinjau lagi adalah keputusan moderat sehingga dapat menjadi jalan tengah menciptakan keadilan dalam pemberantasan korupsi.

Pasca terbitnya keputusan MK, kata Muzammil, komitmen pemberantasan korupsi sekarang tergantung dari DPR dan pemerintah. “Itu (penyusunan UU Pengadilan Tipikor, Red) wilayah DPR dan pemerintah. Di DPR ya biasalah ada tarik menarik kepentingan. Tapi, korupsi adalah konsern semua pihak sehingga tidak nampak ada pertentangan soal keberadaan Pengadilan Tipikor,” ujarnya.


Sementara itu, anggota Komisi III DPR Benny K. Harman mengatakan DPR akan mengkaji apa betul Pasal 53 melanggar UUD 1945 seperti yang diputuskan MK.

Dia menganggap keputusan MK yang menganulir Pasal 53 karena bertentangan dengan UUD 1945, membuktikan inkonsistensi MK dalam mengabulkan judicial review atas sebuah UU. “Kalau bertentangan dengan UUD 1945, maka tidak lagi berlaku lagi. Berarti harus distop pemberlakuan aturan itu. Bagaimana bisa berjalan jika sudah dinyatakan bertentangan UUD 1945, MK tidak konsisten,” ujarnya kemarin.

Menurut dia, keberadaan MK adalah untuk melindungi konstitusi. Meski masyarakat menganggap sebuah UU penting, padahal melanggar UUD 1945, maka bisa saja MK mengeluarkan keputusan yang bertentangan dengan kepentingan publik. Dengan demikian, katanya, jika MK memutuskan pasal 53 bertentangan dengan UUD 1945, maka penanganan korupsi dialihkan saja kasus korupsi ke pengadilan umum.

“Jadi, tidak bisa harus ditunggu hingga tiga tahun. Kalau dinyatakan bertentangan, maka tidak berlaku sejak keputusan ditetapkan.”

Penasehat KPK Abdullah Hehamahua mengatakan KPK akan mengupayakan UU Pengadilan Tipikor dapat selesai pada Tahun 2007. Namun, katanya, semua itu tergantung pada komitmen pemerintah dan DPR untuk menyiapkan dasar hukum sebagai landasan Pengadilan Tipikor dalam menangani kasus korupsi di Indonesia.

Sementara itu, Saldi Irsa, Pengamat Hukum dari Universitas Andalas menilai DPR dan pemerintah harus segera menyelesaikan UU Pengadilan Tipikor. “Jangan menunggu waktu tiga tahun. Kecepatan pemerintah dan DPR dalam membuat UU menjadi bukti, ada atau tidak, komitmen memberantas korupsi,” katanya.

Jimly menilai sebelum terbentuknya DPR dan Pemerintahan baru hasil Pemilu 2009, perbaikan undang-undang dimaksud sudah harus diselesaikan dengan sebaik-baiknya guna memperkuat basis konstitusional upaya pemberantasan tindak pidana korupsi.

Apabila pada saat jatuh tempo tiga tahun sejak putusan ini diucapkan tidak dilakukan penyelarasan UU KPK terhadap UUD 1945 khususnya tentang pembentukan Pengadilan Tipikor dengan undang-undang tersendiri, maka seluruh penanganan perkara tindak pidana korupsi menjadi wewenang pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.

Apabila dalam jangka waktu tiga tahun tidak dapat dipenuhi oleh pembuat undang-undang, maka ketentuan Pasal 53 UU KPK dengan sendirinya, demi hukum (van rechtswege), tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat lagi.

M. Yamin Panca Setia

No comments: