Thursday, January 4, 2007

Mencermati Dinamika Politik 2007

Jakarta|Jurnal Nasional

REALITAS politik pada tahun 2007 tetap akan diwarnai interaksi politik antar elit partai dengan pemerintah yang ujung-ujungnya bermuara kepada realisasi kepentingan untuk menambah akses kekuasaan. Dinamika politik yang dimainkan elit kepada pemerintah tetap sangat elistis, dan tidak ada kaitan dengan kepentingan rakyat.

Para elit politik, masih memposisikan kekuasaan sebagai “panglima” sehingga ketidakstabilan politik yang bermuara pada pergantian kekuasaan tidak ada jaminan bisa terealisasikan.

Pengamat Politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Indria Samego menilai, meski terjadi riak-riak kekecewaan dari sejumlah elit terhadap kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, namun desakan pencabutan mandat kepada Presiden tidak logis karena Undang-undang Dasar 1945 tidak memberikan peluang untuk impeactment .

“Saya kira, ketidakpercayaan kepada Presiden hanya sebuah wacana. Semua orang tahu bahwa ada masalah di pemerintahan. Tapi, bagaimana mengkonversikan wacana itu menjadi tindakan, itu sangat sulit dilakukan,” ujarnya kepada Jurnal Nasional usai diskusi bertajuk Paparan Akhir Tahun Ekonomi Politik CIDES 2006 yang digelar di Jakarta kemarin.

Selain itu, gonjang ganjing politik yang dimainkan elit untuk mendelegitimasi pemerintah belum mengkristal. Wacana itu bergulir begitu saja, tanpa mengubah bentuk menjadi gerakan kuat yang mampu membangun people power.

Menurut Indria, selama pressure kepada pemerintah yang dilakukan elit belum berubah menjadi colletive mind bagi seluruh stakeholder negeri ini, maka akan mati suri.

Di tahun 2007, dinamika politik akan selalu ada, namun akan padam begitu saja ketika kepentingan elit diakomodasi. Desakan sejumlah partai politik untuk mencabut dukungan akan reda karena ujung-ujungnya desakan itu diarahkan untuk meminta kepada Presiden agar diberikan tambahan jatah kursi di kabinet.

Kekuatan oposisi pun tak begitu siginifikan lantaran tahun 2007 elit partai politik akan menganggap tanggung menjadi kekuataan oposisi karena Pemilihan Umum 2009 semakin dekat. Partai politik nampaknya lebih berorientasi mempertahankan akses kekuasaan sebagai modal menyongsong Pemilu 2009.

Sementara itu, peran DPR yang sejatinya menjadi pengawas eksekutif juga tak jauh berbeda dibanding tahun 2006. DPR tidak bisa diharapkan dapat maksimal memainkan perannya sebagai pengawasan pemerintah karena DPR turut serta menikmati kemapanan dari pemerintah. “Rakyat tidak begitu mengharap ada perubahan karena legislatif sendiri sudah ibarat menikmati kemampanan,” ujar Indria.

Kredibilitas DPR memang terus terpuruk di mata publik. Dalam situasi ekonomi masyarakat yang masih terpuruk, wakil rakyat mempertontonkan aksi controversial seperti studi banding, peningkatan anggaran reses yang cukup fantastis. Sementara kinerja DPR semakin melorot.

Ironisnya, tak sedikit oknum anggota DPR yang terlibat dalam praktek tercela seperti menjadi calo, menerima voucer pendidikan, dan berprilaku asusila. Seperti diketahui, publik baru-baru ini dikejutkan setelah beredar video mesum yang diperankan Yahya Zaini, anggota DPR dari Fraksi Golkar dengan artis dandut Maria Eva.

Namun, Indria memperkirakan akan terjadi perubahan dinamika politik pada tahun 2007, jika Partai Golkar yang memiliki 129 suara bisa mempengarui Jusuf Kalla untuk mempersiapkan diri pada Pemilu 2009.

Selain itu, posisi pemerintah akan semakin terjempit jika Golkar bersatu dengan PDIP untuk menjadi kekuatan oposisi. “Kalau Golkar ngambek, dan bersatu dengan PDIP, maka suaranya hampir separuh suara di parlemen sehingga strategis untuk mem-presure pemerintah.”

Namun, kata Indria, rasanya sulit Golkar memainkan peran oposisi jika Jusuf Kalla sebagai Ketua Umum masih tetap memangku jabatan sebagai Wapres. Selain itu, di internal Golkar pun terjadi split antara yang pro Kalla sebagai Wapres, dengan yang tidak.

Menurut dia, di internal Golkar ada kelompok yang menilai keberadaan Kalla sebagai Wapres justru merugikan Golkar. Jika pemerintah berhasil melaksanakan agendanya, yang dapat keuntungan adalah Partai Demokrat dan SBY, karena itu Golkar harus mencabut dukungan. “Tapi, ada faksi lain di internal Golkar yang menganggap Kalla sebagai Wapres sebagai aset untuk modal politik Golkar pada Pemilu 2009.”

Pengamat Politik LIPI lainnya, Syarif Hidayat juga menilai pada tahun 2007 peran oposisi tidak begitu signifikan dimainkan partai politik. Pasalnya, pergerakan oposisi di Indonesia sejauh bergerak secara elitis, tidak membentukan gerakan institusi.

Sejumlah partai memang mengklaim sebagai oposisi sejak awal dari Pilpres. Namun, katanya, oposisi yang dimainkan partai politik cenderung memposisikan diri sebagai oposisi yang loyal kepada penguasa, dan kepentingannya. “Peran oposisi yang akan dilakukan masih bisa dinegoisasikan.”

Di luar negeri, lanjutnya, pergerakan oposisi terhadap penguasa sangat rapi dan terorganisir, dan bergerak secara institusi. Sebuah partai yang tidak setuju dengan kepemimpinan Presiden, maka akan menarik dukungan secara institusi di pemerintahan.

Namun, Syarif menilai bisa saja koalisi besar membentuk oposisi terjadi pada tahun 2007. Koalisi oposisi itu diarahkan sejumlah partai politik untuk mempersiapkan diri menjelang Pemilu 2009.

Namun, dia menilai realitas politik demikian sulit direalisasikan oleh sejumlah partai politik karena tidak ingin mengambil resiko. Elit partai akan berhitung untung rugi menjadi oposisi setelah mendapatkan akses kekuasaan dari pemerintah. “Dalam perhitungan elit, , lebih baik mencari jalan yang aman daripada mengambil resiko sebagai oposisi,” katanya.

M. Yamin Panca Setia

No comments: